Pages

Subscribe:

Rabu, 09 Mei 2012

Kisah cinta diatas perbedaan agama

“….karena cinta kuat seperti maut,
kegairahan gigih seperti dunia orang mati,
nyalanya adalah nyala api TUHAN!,
air yang banyak tak dapat memadamkan cinta.”
~Kidung Agung 8:6-7
I. Pengantar
marriage Kerapkali dilontarkan pernyataan bahwa cinta pada hakikatnya merupakan sesuatu yang subtil dan menembus batas. Dikatakan subtil (halus/tak kentara) karena memang misterius. Tak ada seorangpun yang mampu secara pasti memahami mengapa, bagaimana dan kapankah cinta datang, bersemi serta menghangatkan sanubari. Agaknya dari situ lantas jamak dipopulerkan idiom “jatuh cinta,” mengingat kehadiran cinta yang tiba-tiba, layaknya seseorang yang tiba-tiba terpelanting dan jatuh. Dan dikatakan menembus batas karena memang itulah keniscayaan cinta. Semua bangunan tembok pemisah yang direka oleh manusia seperti ras, adat, suku, budaya, bahasa, aturan main, ideologi dan agama, pada kenyataannya tak dapat membendung nyala cinta. Karena nyalanya adalah nyala api TUHAN! –demikian sabda Kidung Agung.
Begitu sepasang anak manusia terhisap dalam pusaran cinta, maka secara substantive sejatinya tiada yang dapat menghalangi kesatuannya. Dan kalaupun toh dipaksa untuk berpisah, maka tentu akan segera bermunculan kisah-kisah baru; kisah cinta berlatar tragedi sejenis Romeo and Juliet ataupun Siti Nurbaya. Karenanya tak berlebihan jika kitab Kidung Agung di dalam Perjanjian Lama memberikan apresiasi yang sangat mendalam akan keagungan cinta: “Begitu cinta membara, maka sungai-sungai tak dapat memadamkan serta menghanyutkannya.”
Dengan demikian cinta pada hakikatnya merupakan sesuatu yang sacred, sakral. Bersumber dari kedalaman Kasih Sang Khalik sendiri.
Bahwa dalam perjalanannya cinta menjadi tidak lagi sakral dan tercemari oleh banyak pengaruh profan yang bersumber dari kedagingan manusia, sehingga pijar cinta memudar atau malah musnah, maka itu perkara lain. Namun penghargaan terhadap cinta adalah sesuatu yang mutlak.
Maka dalam rangka menopang dan mengupayakan struktur pendukung bagi keberadaan cinta, institusi perkawinan pun lantas hadir serta mengemuka. Dan mereka yang hendak melangsungkan perkawinan pada prinsipnya tak boleh dihalang-halangi. Seorang penjahat yang paling sadis pun diperkenankan, dijamin atas nama cinta dan Hak Azasi Manusia, tidak boleh dilarang jika meminta melangsungkan perkawinan. Konsekuensinya, hal yang sama juga idealnya diberlakukan bagi sepasang anak manusia yang berbeda agama….Kawin beda agama, mengapa tidak ?
II. Kawin beda agama (campur) dalam Alkitab
Jika mencermati kisah-kisah perkawinan dalam Perjanjian Lama, maka terdapat penolakan, atau dengan kata lain, kata TIDAK atas frase kawin beda agama.
(Lihat kisah Ulangan. 7:1-11; Keluaran. 34:12-16; Maleakhi. 2:10-15; Ezra. 2:59-62; Nehemia. 7:61-64; 13:23-29.) Sebagaimana penelusuran kawan saya, Pdt Andri Purnawan, penolakan tersebut dilatarbelakangi pemahaman bahwa tatkala perkawinan beda agama dilakukan maka umat Yahweh yang secara kuantitas jumlahnya jauh lebih kecil daripada umat/bangsa lain yang berbeda agama akan terancam luntur.
Atas dasar kekuatiran lenyapnya Yahwehisme, demi alasan mengamankan identitas, serta konservasi jumlah penganut iman yang sedikit, maka munculah pelarangan dan penolakan terhadap kawin beda agama/beda suku. Umat Yahweh hanya boleh kawin dengan sesama umat Yahweh, tidak boleh kawin dengan goyim/yang bukan umat Yahweh.
Namun berdasar penelusuran Pdt Andri Purnawan, tak dapat dipungkiri pula bahwa kenyataan dari perjumpaan dengan peradaban dan suku bangsa lain yang beragam, menjadikan kawin beda agama sebagai realitas yang tak terhindarkan. Andri mencatat bahwa, bahkan “tokoh-tokoh besar” Israel pun mengalaminya, seperti diperlihatkan dalam :
  • Kej. 38 :1-2 (Yehuda kawin dengan Syua,wanita Kanaan)
  • Kej. 46: 10 (Simeon kawin dengan wanita Kanaan)
  • Kej. 41:45 (Yusuf kawin dengan Asnat, anak Potifera, imam di On-Mesir)
  • Kej. 26:34 (Esau dengan Yudit, anak Beeri orang Het)
  • Bil. 12:1 (Musa – sang pemimpin Israel – kawin dengan seorang perempuan Kusy)
Bahkan dalam konteks tertentu malah diijinkan. Sebagaimana terdapat dalam Ulangan 21:10-14. yang merupakan rangkaian dari perikop yang berbicara mengenai hukum perang yang ditetapkan bagi orang Israel (lihat Ul. 20 – 21 :14). Andri mengungkapkan bahwa pada bagian ini dengan gamblang diatur apabila Israel menang perang, menawan musuh dan diantaranya ada para perempuan yang menarik, maka perempuan itu harus diperlakukan secara manusiawi, dihormati hak-haknya.Lalu “sesudah itu bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi istrimu.” Dalam konteks ini perkawinan dengan perempuan non-Israel/yang beragama lain diijinkan supaya umat tidak terjatuh pada dosa kejahatan perang, dalam hal perlakuan biadab terhadap para perempuan tawanan perang.
Dalam Perjanjian Baru (PB).
Andri Purnawan di dalam penelusurannya atas Perjanjian Baru mencatat penggunaan teks 2 Kor. 6:14 yang berbunyi “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” yang merupakan teks favorit, yang paling sering dikutip untuk melegitimasi pelarangan melakukan perkawinan dengan orang yang berbeda agama.
Namun jika menilik konteksnya, Andri menerangkan bahwa sejatinya ayat itu tidak ditujukan untuk melarang atau mendukung seorang Kristen menikah dengan orang non-Kristen, melainkan lebih ditujukan bagi mereka yang baru saja bertobat namun pasangannya masih memeluk kepercayaan yang lama. Tujuannya jelas, yakni agar orang-orang Kristen/petobat baru, benar-benar menerapkan kekudusan dalam hidupnya dan tidak lagi terjatuh dalam kehidupan cemar yang masih menjadi gaya hidup pasangannya. Mereka dipanggil untuk menularkan positive influence bagi pasangannya yang belum percaya. Paulus tetap melarang orang-orang Kristen menceraikan pasangannya yang berbeda iman, kecuali pasangannya yang menginginkan (lihat : I Kor. 7:12-16, I Petrus 3:1-7).
Maka dengan demikian, berdasarkan penelusuran Andri diatas, dapat diketengahkan pokok baru tentang kesucian.
Di dalam Yudaisme berkembang hukum halal-haram. Apabila yang suci bertemu dengan yang cemar, maka yang suci dikalahkan oleh yang cemar, oleh yang najis. Dari situ kemudian berkembang konsep separasi radikal yang memisahkan secara dikotomis antara -mereka yang suci-dengan-mereka yang najis.
Namun di dalam Perjanjian Baru konsep itu dirombak.
Yang suci tidak perlu bercerai dengan yang cemar. Umat tebusan tidak perlu memisahkan diri dari umat yang bukan tebusan. Karena bukan hanya yang najis/cemar saja yang dapat mempengaruhi. Yang suci pun juga mampu untuk mempengaruhi yang cemar. “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istrinya yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya”(1Korintus 7:14). Dan kenyataan ini menurut Pdt. DR Bambang Ruseno merupakan proklamasi yang luar biasa.
Gusti Yesus sendiri, melalui aksiNya yang menyentuh langsung orang yang terkena lepra, perempuan Samaria, perempuan yang kena pendarahan, dan kumpulan manusia lain –yang di dalam tradisi Yudaisme diklaim sebagai golongan cemar/najis-pada hakikatnya telah membongkar pemahaman tentang kesucian yang semula bersifat tertutup/eksklusif menjadi terbuka/inklusif. Dan tentunya roh dari pemahaman ini diteruskan serta digemakan ulang oleh Paulus selaku muridNya di dalam surat-surat penggembalaan, termasuk kepada jemaat di Korintus.
Jika dikaitkan dengan kawin beda agama, maka tatkala yang berbeda dianggap sebagai najis, secara teologis perkawinan itu tidak selalu bermakna bahwa yang suci akan dicemarkan oleh yang najis, sehingga harus dilarang. Melainkan dapat bermakna sebaliknya; yang najis sangat mungkin dipengaruhi oleh yang suci melalui kesaksian keseharian hidup yang nyata. Sehingga tidak harus dilarang.
III. Kawin beda agama: sejak sejarah Gereja hingga Hindia Belanda
Scisma ke II atau perpecahan gereja pada kisaran tahun 1500-1800 antara Katolik versus Protestan sebenarnya diawali oleh perselisihan pada ranah ajaran. Yang kemudian menjalar dan mengakibatkan pertentangan (perebutan) kekuasaan secara politis. Perselisihan yang terjadi secara tak terelakkan pada gilirannya memunculkan jurang pemisah.
Menurut L.M Gandhi SH (dalam: “Pelaksanaan UU Perkawinan dalam perspektif Kristen,” BPK-GM, 1994, hlm 131) semula orang katolik dilarang untuk kawin dengan non katolik. Dan mengingat gereja Katolik berkuasa maka di wilayah Eropa awalnya perkawinan tunduk pada hukum dan ketentuan gereja. Karenanya pemberlakuan hukum perkawinan bersifat kaku dan eksklusif.
Namun seiring dengan semangat reformasi yang melanda zaman itu, pada gilirannya di Eropa timbulah protes serta gejolak pemberontakan terhadap kekuasaan gereja. Maka pasca revolusi Perancis, akhirnya diundangkanlah Code Civil. Dengan demikian perkawinan memperoleh babak baru; diatur sebagai perkara sekuler, ditata dalam hukum perdata yang dibedakan serta tidak lagi berada dalam ranah kewenangan gereja/agama. Konsekuensinya seseorang bisa saja meminta untuk dicatatkan perkawinannya oleh Negara (legitimatio), namun tidak merasa perlu untuk meminta pemberkatan (konfirmatio) pada pihak gereja.
Pada masa Hindia Belanda, semula dalam rangka mencegah percampuran identitas yang disinyalir dapat meruntuhkan bangunan “kasta”yang dibuat penguasa, maka VOC menekankan separasi/pemisahan secara ketat. Dan ketika pada 1799 VOC menyerahkan kedaulatan ke tangan pemerintah Hindia Belanda, kebijakan pelarangan kawin “campur” juga masih diberlakukan. Artinya, orang Belanda dilarang keras kawin dengan pribumi/bumiputra. Orang Indonesia Kristen juga dilarang melakukan perkawinan dengan non Kristen. Sebagai dampaknya, banyak pasangan yang berupaya menyiasati dengan melakukan “kumpul kebo” atau melakukan perkawinan tersembunyi.
Namun mengingat dinamika perjumpaan antar manusia yang muskil begitu saja dapat dihalangi, pada perkembangannya seiring dengan terbitnya kesadaran baru –terhadap keberadaan cinta yang memang tidak seharusnya dihalangi– maka pada tahun 1848 larangan kawin beda agama pun dicabut. Lantas pemerintah Hindia Belanda menerbitkan aturan serta hukum materiil yang mendasari perkawinan “beda agama” yang disebut sebagai: Regeling op de Gemengde Huwelijk disingkat GHR, Staatsblaad.1989 no 158.
Di dalam GHR pasal 7 ayat 2 terdapat klausul yang berbunyi:
“…Perbedaan agama, bangsa atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu.”
IV. UU perkawinan No 1/1974 & implikasinya terhadap kawin beda agama
Ketika Indonesia Merdeka pada tahun 1945, muncul semangat untuk secara mandiri mengatur landasan bagi kehidupan bersama di bumi Indonesia, yang didasari oleh Pancasila. Kemudian dalam prosesnya diajukan dan dibahaslah rancangan undang-undang (RUU) perkawinan yang berdasarkan Pancasila, bersifat Nasional, berlaku bagi seluruh warga negara serta menjamin kepastian hukum.
Semula pasal 2 ayat 1 RUU Perkawinan berbunyi:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat
perkawinan, dicatat dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini
” (Albert Hasibuan, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Penyelesaian masalah “perkawinan campuran, dalam Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam perspektif Kristen, Jakarta:BPK-GM, 1994, hlm77-79)
Namun menurut Albert Hasibuan, pembahasan RUU tersebut mendapat reaksi dan protes keras dari golongan yang menghendaki berlakunya hukum agama di dalam peraturan perundangan perkawinan. Reaksi keras tidak hanya menyangkut sahnya perkawinan, tetapi juga tentang asas monogami, perceraian, perwalian, termasuk juga pasal (11) ayat (2) RUU yang memuat ketentuan yang memungkinkan kawin beda agama.
Maka ketika Undang Undang Perkawinan disahkan, muncullah ketentuan yang bersifat kompromistis. Albert mengungkapkan bahwa UU Perkawinan no 1/1974 dikatakan kompromistis karena memberlakukan hukum agama menjadi hukum positif, sebagai hukum Negara: pada akhirnya Pasal 2 ayat 1 UU no 1/1974 berbunyi:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Jadi yang semula di dalam draft RUU, sahnya perkawinan adalah jika dilakukan di hadapan Negara, kini sahnya perkawinan adalah ketika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dan tentang kawin beda agama dalam RUU pasal 11 ayat 2 menjadi dihilangkan (di-drop). Namun tetap timbul kesimpangsiuran dalam menafsirkan pelaksanaannya. Terutama berkaitan dengan kawin beda agama.
Di dalam UU No.1/1974 pasal 57 memang diatur tentang kawin campur, dan yang dimaksud adalah:
…perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Sementara untuk perkawinan “campuran” antara dua orang yang berbeda agama sama sekali tidak diatur. Maka jelas terdapat kekosongan hukum. Dengan demikian dapat dipahami jika alasan “ketiadaan aturan” kerapkali digunakan sebagai justifikasi/dasar pembenar dari pihak Catatan Sipil, lembaga agama, bahkan Gereja, guna menolak mereka yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama.
Namun jika dicermati di dalam ketentuan peralihan pasal 66 UU No.1/1974, terdapat pernyataan yang berbunyi:
” untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S.1898 No.158), dan peraturan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Sehingga menurut Albert Hasibuan, dengan mendasarkan diri pada penafsiran “a-contratio” atau tafsir yang membandingkan perbedaan dan melihat sisi sebaliknya, maka kalimat “sejauh telah diatur”, sejatinya dapat berarti bahwa Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S. 1898 No 158, yang disingkat GHR) masih tetap berlaku, dan dapat digunakan, mengingat bahwa aturan tentang kawin beda agama memang belum ada dan belum diatur di dalam UU no1/1974.
V. Konsekuensi eklesiologis
Pasal 66 di atas pada gilirannya mendasari terbitnya akta KETETAPAN SIDANG MPL-PGI NOMOR 01/MPL-PGI/1989 Mengenai Pemahaman Gereja-Gereja di Indonesia tentang Sahnya Perkawinan dan Perkawinan Bagi Warga Negara Yang Berbeda Agama. Ketetapan yang dirumuskan dalam persidangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor pada 29 April 1989, juga menetapkan konsekuensi eklesiologis; bahwa gereja dapat memberkati perkawinan beda agama.
Lantas bagaimana dengan Greja Kristen Jawi Wetan ?
Sebagai dasar kiprah dan gerak langkah gereja, maka tersebutlah Tata dan Pranata GKJW terbitan Majelis Agung tahun 1996. Di dalam bagian pranata tentang perkawinan memang sama sekali tidak terakomodasi pergumulan yang terkait dengan kawin beda agama. Dalam Bab IV.Hal Khusus, pasal 16 bahkan sayup-sayup terdengar gema paradigma eksklusivisme, ketika diungkapkan bahwa:
apabila ada suami-istri yang salah satunya masuk Kristen, perkawinannya belum dapat disahkan secara gerejawi”
Dengan demikian yang perkawinannya dianggap sah secara gerejawi hanyalah mereka yang sama-sama menganut agama Kristen. Jika hanya salah seorang yang menganut agama Kristen maka tidak sah. Sementara secara biblical sejatinya jelas bertolak belakang dengan semangat pemahaman 1 Korintus 7:14 yang bercorak inklusif.
Faktanya, GKJW memang menghadapi pergumulan mengenai kawin beda agama. Bahkan secara strategis GKJW pernah berkorespondensi langsung dengan Dirjen BIMAS Kristen Departemen Agama RI, menyoal kawin beda agama, yang kemudian dibalas per tanggal 29 September 1976.
Di dalam isi surat balasan, dikemukakan persetujuan BIMAS Kristen Depag RI tentang kesimpulan dan penjelasan GKJW terkait pasal 66 UU No.1/1974 yaitu:
a. Hal-hal yang sudah diatur dalam UU No 1/1974, maka peraturan yang sudah ada sebelumnya tidak berlaku, sebab yang berlaku adalah peraturan yang sekarang.
b. Mengenai hal-hal yang belum diatur di dalam UU1/1974, maka peraturan yang sudah ada sebelumnya dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah-masalah ini, dengan demikian pasal (75) dari HOCI masih berlaku.
Hanya saja, kala itu yang digunakan GKJW sebagai dasar hukum argumentasi kawin beda agama bukanlah GHR melainkan HOCI/Huwelijk Ordonatie Christen Indonesier, pasal 75, yang juga mengatur ketentuan tentang kawin beda agama.
Dengan demikian di satu sisi, secara tekstual, dengan mendasarkan pada Tata-Pranata tahun 1996, GKJW terlihat menganut paham eksklusivisme. Menutup diri terhadap kemungkinan kawin beda agama. Berkat perkawinan dipahami hanya secara eksklusif diperuntukkan kepada sesama umat tebusan. Karenanya bagi suami-istri yang salah satunya masuk Kristen, perkawinannya belum dapat disahkan oleh gereja.
Padahal secara hakiki, gereja bukanlah Kristus.Gereja bukanlah sumber berkat, melainkan hanyalah sekadar sarana guna mengejawantahkan berkat yang bersumber dari Tuhan sendiri.
Di sisi lain, secara factual, GKJW di dalam praksisnya sebenarnya nampak tidak begitu saja menutup mata terhadap dinamika konteks yang membutuhkan perhatian dan pelayanan nyata. Buktinya, ketika terdapat pergumulan terkait keberadaan warga yang hendak kawin beda agama, GKJW tidak tinggal diam. Ada upaya untuk melayani dan merengkuh. Dan komitmen pelayanan tersebut setidaknya terlihat dengan keberadaan “surat advokasi/pembelaan” kiriman PHMA kepada BIMAS Kristen Depag RI pada tahun 1976 yang berisi saran dan meminta persetujuan bagi penggunaan dasar hukum HOCI pasal 75, guna mendukung terlaksananya kawin beda agama secara konstitusional.
Jadi, dengan mengingat bahwa Tuhan itu baik bagi semua orang dan penuh rahmat terhadap yang dijadikanNya (Maz 145:9), serta dengan memperhatikan tema Program Kegiatan Pembangunan (PKP) GKJW yang selama ini selalu berorientasi pada upaya untuk menjadi rahmat bagi sesama dan dunia, maka GKJW perlu menegaskan sikapnya bahwa pada prinsipnya Greja Kristen Jawi Wetan mengakui dan menghargai perkawinan beda agama.
Ketika prinsip ini diamini, artinya GKJW berani menegaskan bahwa agama sebagai hasil konstruksi manusia tidak seharusnya digunakan untuk menegasikan/meniadakan cinta sebagai sesuatu yang ultimate dan sacral.
Sehingga konsekuensinya, tatanan/pranata yang tertulis pun harus direvisi guna menyelaraskan dengan prinsip yang digenggam. Konsekuensi berikutnya, jika terdapat pasangan yang hendak meminta pemberkatan kawin beda agama, maka Majelis Jemaat tidak diperkenankan untuk menolak dan harus tetap melayaninya. Termasuk juga turut mendampingi prosesnya untuk ke Catatan Sipil, atau ke Pengadilan Negeri, guna mendapat yurisprudensi yang bisa digunakan sebagai dasar pencatatan sipil.
VI. Beberapa keberatan dan kesulitan teknis.
Walaupun demikian bukan berarti kawin beda agama tidak menemui hambatan. Saya mencatat beberapa keberatan yang muncul, salah satunya yang dilontarkan oleh sobat Andri Purnawan:
“Ketidaksamaan standar moral etis dalam sebuah keluarga bisa saja terjadi. Dan sangat mungkin menjadi awal dari sebuah bencana besar dalam hidup berkeluarga, terutama jika keluarga itu berhadapan dengan problem rumah tangga. Misalnya : yang satu mengharamkan perceraian, sementara yang lain mengatakan boleh. Yang satu memegang erat asas monogami, yang lain mengatakan boleh poligami asal adil, dan masih banyak masalah yang lain, termasuk menyangkut makanan perihal halal/haram, ada tidaknya meja pemujaan di rumah, dsb. Ada lagi satu pertanyaan prinsip. Siapakah yang menjadi kepala rumah tangga? Tentu bukan lagi Kristus. Dampaknya keluarga tersebut bisa jadi tidak akan dapat memainkan peran dalam menjawab tugas kerasulan untuk menjadi garam dan bercahaya bagi Kristus. Jika dipaksakan untuk terus berjalan sendiri? Bisa! Tapi sehatkah keluarga yang demikian?”
Argumentasi di atas memang benar. Itu sangat mungkin terjadi. Namun yang pertama, bahaya perpecahan dan ketidakmampuan untuk mentolerir perbedaan/ketidaksamaan standar moral, sejatinya tidak hanya melulu menjadi resiko yang harus dihadapi oleh mereka yang melangsungkan kawin beda agama saja, melainkan menjadi resiko dan bahaya yang harus diantisipasi secara bijak oleh setiap semua pasangan yang membangun rumah tangga-apapun agamanya. Memang diperlukan pengelolaan dan kebijaksanaan bagi mereka yang melakoni kawin beda agama, namun bukan berarti dapat diklaim begitu saja, bahwa seolah-olah mereka yang kawin beda agama jauh lebih rentan untuk mengalami bencana besar jika dibandingkan dengan mereka yang kawin seagama.
Apakah sebilah pisau yang mempunyai faktor resiko dapat melukai tangan dan potensial digunakan sebagai alat pembunuhan harus dilarang keberadaannya? Tidak begitu bukan?!. Walaupun mengandung resiko, namun tidak berarti bahwa keberadaan pisau harus sama sekali dilarang peredarannya.
Maka demikian pula dengan kawin beda agama. Keberadaan resiko dalam perkawinan dua orang yang berbeda agama, tidak dapat dibawa begitu saja pada kesimpulan untuk menegasikan/melarang kawin beda agama.
Bahwa kemudian dipandang perlu untuk memberikan touchstone yang mendeskripsikan secara rinci faktor resiko dalam kawin beda agama, maka ini menjadi kewajiban Gereja guna memaparkan dan mendampingi dalam proses katekisasi khusus.
Yang kedua, terkait dengan asumsi triumphalistis, yang mengklaim bahwa keluarga beda agama tidak akan mampu menjawab tugas kerasulan untuk menjadi garam dan terang. Asumsi tersebut menurut saya dibuat melalui kacamata eksklusif, dengan penekanan bahwa hanya yang sewarna-lah yang dapat mewujudnyatakan misi. Yang berbeda warna tidak.
Maka sebaliknya, adakah jaminan bahwa yang sewarna/keluarga kristen dapat secara tuntas mewujudnyatakan garam dan terang, serta memberlakukan Misio Dei secara tuntas dan total?
Jika menjadi garam dan terang sejatinya terkait dengan perilaku keseharian, yang diwujudkan melalui ujaran, pikiran dan tindakan yang dilingkupi kasih, maka tidakkah mungkin bagi keluarga yang berbeda agama untuk menghadirkan harmoni dan kedamaian melalui kisah hidup keseharian mereka?
Saya pikir kemungkinan itu senantiasa terbuka lebar. Dan ketika taruhlah sesuatu yang baik, yang indah, yang sedap didengar, yang dilandasi oleh kasih serta kebenaran hadir dan muncul sebagai buah hidup dari keluarga beda agama, maka bukankah sejatinya hal tersebut juga merupakan upaya pemberlakuan kehendak Allah?
Di dalam Yohanes 14:15 Gusti Yesus berujar, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu.” dan dalam Yoh 15:17 Gusti Yesus mengungkapkan bahwa: “Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”
Maka ketika keluarga beda agama memberlakukan kasih secara nyata, tidakkah mereka dapat disebut sebagai keluarga yang menuruti perintah Tuhan dan membiarkan nilai-nilai Kristus untuk mengepalai serta menutun rumah tangga mereka?
Yang artinya secara tidak langsung juga dapat disebut sebagai keluarga yang dikepalai oleh Kristus sendiri bukan?!
Kesulitan teknis
Beberapa pertanyaan terkait dengan kesulitan teknis.
  • Bagaimana dengan formulir N1-N5 yang dibuat dengan asumsi sama agama?
  • Bagaimana pula dengan KTP yang disyaratkan oleh catatan sipil harus seagama?
Mengingat kawin beda agama merupakan kasus khusus, maka formulir N1-N5 diisi sesuai prosedur, dan sertakan juga KTP secara apa adanya. Agama tak perlu direkayasa untuk disamakan. Ketika catatan sipil tidak bersedia menerima pengajuan kawin beda agama dan tetap menolak walaupun telah disodorkan argumentasi dengan mendasarkan pada ketentuan peralihan UU No 1/1974 pasal 66, yang memungkinkan berlakunya HGR/HOCI, maka artinya greja harus memiliki kebijaksanaan khusus.
Dasar bagi kebijaksanaan khusus adalah UU No 1/74 pasal 2 ayat 1, yang menyebutkan bahwa “perkawinan sah menurut hukum masing-masing agama.”
Maka dengan demikian, majelis jemaat memiliki kewenangan untuk mengesahkan kawin beda agama dan membuat Surat Tanda Pengesahan Kawin Beda Agama/SuTaPKaBA (sehingga memenuhi kaidah “sesuai hukum masing-masing agama”). Setelah itu SuTaPKaBA diberikan pada catatan sipil untuk dicatatkan. Namun jika pihak Catatan Sipil masih menolak, dan tidak bersedia menerima, maka dengan dasar surat penolakan tersebut, dimintakan yurisprudensi ke Pengadilan Negeri supaya diterbitkan surat perintah pencatatan.
  • Bagaimana jika ada yang hendak melangsungkan kawin beda agama, namun tidak bersedia diberkati di gereja?
Maka -sebagaimana dituturkan oleh Pdt. Sumardiyono– mekanismenya dapat diatur melalui persidangan Majelis Jemaat khusus yang agenda tunggalnya adalah mengesahkan perkawinan beda agama. Di dalamnya tidak ada berkat. Hanya doa.
  • Bagaimana jika ada yang bersedia diberkati di gereja, namun dengan tetap meminta pengakuan dan penghargaan atas perbedaan keyakinan yang dianutnya?
Mengapa tidak. Artinya, gereja dapat menghadirkan pemuka agama sesuai dengan agama yang dianut oleh salah seorang mempelai. Sebagaimana yang diberlakukan di GKJ Salatiga, pemberkatan perkawinan dapat dilakukan oleh pendeta dan kiai, secara bersamaan sekaligus, dengan menggunakan liturgi khusus.
Dibalik kesemuanya ini, segala sesuatu yang teknis pada hakikatnya hanya mengikuti dari hal-hal yang bersifat prinsip. Maka ketika secara prinsip gereja memutuskan untuk mengubah dirinya dari paradigma iman eksklusif/tertutup ke paradigma iman yang inklusif/terbuka, maka yang teknis dapat ditata dengan mendasarkan diri pada hal-hal yang prinsip. Akhirnya, perkawinan beda agama pada konteks tertentu, jika memang harus terjadi…mengapa tidak.***
Bahan rujukan:
- UU Perkawinan No.1 tahun 1974.
- Pdt. Andri Purnawan, Nikah Beda Agama, Mungkinkah?, di posting pada www.gkjwcaruban.org/….
- Weinata Sairin, J.M Pattiasina, ed., Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam Perspektif Kristen, himpunan telaah tentang perkawinan di lingkungan: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, BPK-GM, 1994.
-Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, Majelis Agung GKJW, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar